Ketum PB-PASU Pertanyakan Peran dan Fungsi Televisi Nasional.

Share:

 

MEDAN,CAHAYANEWS.COM- Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Perkumpulan Advokat Sumatera Utara (PB-PASU) Eka Putra Zakran, SH MH menyatakan kekecewaannya terhadap  para bos besar, pemilik (owner) atau pemimpin perusahan media maenstrim, khususnya televisi nasional yang tidak lagi peka terhadap isu-isu perubahan. Hal itu dintandai dengan tidak adanya liputan berita terkait aksi unjuk rasa mahasiswa dan/atau aksi protes rakyat terhadap kebijakan pemerintah.

Dikatakan Epza, dirinya sangat menyayangkan kondisi pertelevisian nasional saat ini yang dinilainya tidak lagi peka terhadap isu-isu perubahan, termasuk gelombang protes dari rakyat. Hal itu dikatakan pada Sabtu (9/4) di Medan.

"Kita kecewa lah melihat sikap para bos, pemilik (owner) atau pun pemimpin perusahan media televisi saat ini. Bagimana tidak, sangat jarang kita lihat ada liputan terkait aksi unjuk rasa, bahkan boleh dibilang hampir tidak ada. Padahal di media sosial aksi unjuk rasa mahasiswa banyak bersileweran, tapi entah mengapa kok media televisi malah tidak menyiarkan?. Disatu sisi ini aneh, tapi disisi yang lain, inilah saat ini realitasnya.

Lebih jauh mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Medan ini mengatakan, banyak persoalan bangsa saat ini, mulai dari persoalan impor beras, sembako mahal, naiknya harga BBM, terjadinya kelangkaan Minyak Goreng dan sampai pada wacana perpanjangan masa Presiden 3 Priode. Artinya persoalan yang dihadapi pemerintah saat ini begitu komplek, bahkan hemat saya bukan hanya komplek tapi multi komplek. Kondisi ini kita lihat memprihatinkan, namun dalam keprihatinan itu, media televisi justru tak bergeming alias tidak memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat. Seolah seperti ada hal-hal yang ditutup-tutupi dari kebijakan pemerintah. Padahal kita tau bahwa masyarakat sangat butuh informasi yang objektif, jelas, terang dan berimbang. 

Masih menurut Epza informasi yang objektif dan berimbang ini sulit kita dapatkan sekarang dari televisi nasional, lebih-lebih terkait liputan protes masyarakat atau aksi unjuk rasa mahasiswa dalam nenolak kebijakan pemerintah.

Semuanya kita tahu bahwa seharusnya peran dan fungsi media itu sebagai "Wachdog" atau penjaga kebijakan pemerintah dan penyampai informasi. Jadi kerja media bukan hanya memberitakan tentang keberhasilan pemerintah saja tapi juga kegagalan harus diberitakan. Pendek kata yang diberitakan jangan hanya yang manis-manisnya saja, tapi yang pahitnya juga harus diberitakan.

Sejatinya media itu kokoh, independen, objektif dan merdeka, jauh dari intervensi kekuasaan.

Dulu sebelum rezim yang sekarang, mulut televisi nasional itu sangat nyaring dan cepat dalam menyampaikan  informasi atau kondisi faktual yang terjadi ditengah masyarakat. Sekarang sepertinya tumpul. Kayak patah taringnya. Ada apa ini?

Sepintas lalu kadang saya berpikir, apakah mulut para Bos pertelevisian tanah air saat ini sedang disumpal, sehingga tidak lagi mampu mengeluarkan suara untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Istilah anak Medan pekak-pekak badak. Kupingnya pun sepertinya tersumbat, sehingga tidak lagi mampu mendengar serta merasakan jeritan atau penderitaan rakyat. 

Sangat disayangkan kondisi seperti ini. Percuma ada UU No. 40/1999 tentang Pers, kalau fungsi media sebagai "Watcshdog" tidak berjalan. Biasannya yang kita tau pers itu mampu mengungkap fakta dan reakita serta menyajikannya secara terang benderang ke ruang publik, misalnya orang bersembunyi dibalik tembok pun mampu diungkap, tapi sekarang orang berdiri dibalik tirai yang tembus pandang tak lagi tampak.

Kira-kira siapa yang berani menyumpal mulut pemilik Media? Kalau misalnya pengusa, berarti kondisi saat ini lebih kelam dari kondisi sebelum orde reformasi. Kalau itu yang terjadi ini gak bisa dibiarkan dong. Hemat saya semua pemilik media harus sadar, bangun dan bangkit dari tidur pulas. Saatnya media bersatu melawan jika ada intimidasi atau ancaman bredel dari penguasa, sebab Pers itu merdeka dan dilindungi oleh UU.(CNC/BK01) 

Share:
Komentar

Berita Terkini