Penasehat PWI Sumut, Haji Ronny Simon. |
MEDAN,CAHAYANEWS.COM -- Konferensi Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Sumatera Utara (PWI Sumut) akan digelar penghujung Juli 2021.
Konferensi kali ini mengagendakan Pertanggungjawaban Pengurus PWI Sumut masa bakti 2015-2020, Penetapan Program Kerja dan pemilihan Ketua periode 2021-2026.
Yang cukup menarik dan seru dalam konferensi ini biasanya pemilihan figur Ketua sekaligus Ketua Formatur yang akan menyusun komposisi kepengurusan baru.
Mengacu Peraturan Dasar PWI Pasal 24 disebutkan syarat Calon Ketua haruslah Anggota Biasa minimal selama 3 tahun dengan tingkatan kompetensi Wartawan Utama, pernah menjadi Pengurus PWI di tingkat Pusat, Provinsi atau Kabupaten/Kota serta bukan Pengurus Partai Politik.
Sederetan nama yang memenuhi persyaratan itu antara lain H. Hermansjah SE (incumbent), Drs. Khairul Muslim, Edward Thahir S.sos, H. Sofyan Harahap S.sos, Drs. Muhammad Syahrir, Rizal Rudi Surya SH, Drs. Edy Syahputra Sormin M.Si, Drs. Agus Syafaruddin Lubis, Zul Anwar Ali Marbun dan Jalaluddin.
Di luar nama itu digadang-gadang pula nama H. Farianda Putra Sinik, SE. Namun dinilai bermasalah karena yang bersangkutan pernah dianulir dari susunan Penasihat PWI Sumut menyusul kedudukannya sebagai Wakil Sekretaris Partai Demokrat Sumatera Utara.
Kenapa jabatan Ketua PWI Sumut begitu strategis(?) sehingga banyak peminat yang berkehendak?
Dalam Peraturan Dasar PWI Pasal 3 disebutkan tujuan PWI adalah: a. Tercapainya cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Terlaksananya kehidupan demokrasi, berbangsa dan bernegara serta kemerdekaan menyatakan pendapat dan berserikat;
c. Terwujudnya kemerdekaan Pers Nasional yang profesional, bermartabat, dan beradab;
d. Terpenuhinya hak publik memperoleh informasi yang tepat, akurat, dan benar;
e. Terwujudnya tugas pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Sementara di Pasal 4 disebutkan:
1. Ke dalam, PWI berupaya: a. Memupuk kepribadian wartawan Indonesia sebagai warga Negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan taat pada konstitusi;
b. Memupuk kesadaran dan komitmen wartawan Indonesia untuk berperanserta di dalam pembangunan bangsa dan negara;
c. Meningkatkan ketaatan wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik, Kode Perilaku Wartawan demi citra, kredibilitas, dan integritas wartawan dan PWI;
d. Mengembangkan kemampuan profesional wartawan;
e. Memberikan bantuan dan perlindungan hukum kepada wartawan dalam melaksanakan tugas profesinya;
f. Memperjuangkan kesejahteraan wartawan.
2. Keluar PWI berupaya: a. Memperjuangkan terlaksananya peraturan perundang-undangan serta kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menjamin pertumbuhan dan pengembangan pers yang merdeka, profesional, dan bermartabat;
b. Menjalin kerja sama dengan unsur pemerintah, masyarakat, dan organisasi pers di dalam dan di luar negeri.
c. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran berdasarkan supremasi hukum.
d. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui informasi yang benar.
Mengacu pada tujuan dan upaya PWI tersebut sesungguhnya amanah yang diemban seorang Ketua sangatlah berat. Terlebih di tengah suasana Pandemi Covid-19 dan di tengah serbuan teknologi digital smartphone berbasis internet seperti media sosial (Medsos). Di era ini tidak hanya media massa maenstream cetak dan elektronik yang terpukul hebat tapi juga berbagai sektor ekonomi lainnya.
Dalam kondisi sulit seperti itu, masihkah jabatan Ketua PWI Sumut menarik untuk direbut dengan sederetan amanah yang begitu panjang dan terjal? Bahkan disinyalir ada upaya salah seorang bakal calon yang sudah menyiapkan dana untuk melakukan money politics dengan cara membeli mandat Anggota Biasa PWI Sumut. Haruskah dengan cara begini untuk bertarung menjadi Ketua PWI Sumut?
Terkait ini menarik tanggapan Anggota PWI Sumut Doktor Dedi Sahputra, MA di Group WA PWI Sumut. Menurut Dedi yang masuk di jajaran Pengurus PWI Pusat itu,
kepengurusan PWI Sumut ke depan memerlukan kesinambungan, sebagaimana tradisi yang selama ini dirawat di PWI Sumut. Karena PWI adalah lembaga profesi, bukan lembaga politik, maka tradisi kaderisasi sebagai budaya organisasi harus menjadi komitmen bersama.
Sebab budaya organisasi yang terbentuk dari proses yang panjang dan kesepakatan tak tertulis (gentlemen's agreement), tulis Dedi lebih lanjut, sudah sejak lama diterapkan sehingga mahal sekali harganya.
"Lembaga profesi hendaknya tidak terlalu dipengaruhi oleh kepentingan politik atau praktik politik praktis yang cenderung negatif, seperti adanya money politics. Apalagi dalam ajaran Islam, dalam salah satu hadis sahih Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa pelaku suap (money politics), baik yang memberi dan menerima tempatnya sama-sama di neraka... Semoga PWI semakin jaya...," tutup Dedi Sahputra.
Disinilah hati nurani para bakal calon Ketua PWI Sumut dipertanyakan. Mampukah menakhodai "perahu" PWI ke tujuan yang begitu mulia? Dengan modal apa kinerja organisasi mau digerakkan? Haruskah dengan menjual idealisme? Punya cukupkah waktu yang padat untuk mengurus organisasi? Kalau cuma untuk gagah-gagahan untuk apa? Bukankah setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat?
"Semoga menjadi bahan perenungan bagi para bakal calon Ketua PWI Sumut periode 2021-2026," pungkas Haji Ronny Simon dalam catatannya. (CNC/Akoi)