Bincang Konstitusi Magister Ilmu Hukum UNPAB: Waspadai Wacana Presiden 3 Periode

Share:

MEDAN, CAHAYANEWS.COM -- Program Studi Magister Ilmu Hukum PPS Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Medan menggelar Bincang Konstitusi dengan topik: ”Mungkinkah masa jabatan Presiden 3 periode? Dilaksanakan Kamis, 17 Juni 2021 melalui zoom room meeting.

Tampil sebagai narasumber  Dr. Auliya Khasanofa, S.H., M.H. (Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia) dan H. Hermansjah, SE (Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Sumatera Utara (PWI Sumut).

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum PPS UNPAB, Dr.T.Riza Zarzani, SH, MH saat memberikan sambutan mengatakan, kegiatan ini disamping bagian dari upaya peningkatan suasana akademik dengan membahas isu aktual juga untuk mengulas permasalahan kekinian. 

Kegiatan dibuka secara resmi oleh Direktur Pascasarjana UNPAB Dr.Yohny Anwar, SE, SH, MM, MH serta dihadiri dosen, mahasiswa dan unsur pers dari berbagai wilayah di Inodnesia.

Dalam diskusi dipaparkan bahwa isu Presiden 3 priode bukanlah isu gampangan yang tak begitu saja dapat di anggap remeh. Faktanya, ada beberapa ormas yang telah mengajukan agar eriode Presiden ditambah menjadi 3 periode kepada Dewan Perwakilan Rakyat ke Senayan. Hal ini sangat menghawatirkan sebab muaranya tentu akan terjadi perombakan besar-besaran terhadap UUD 1945 sebagai fundamental bernegara.

Betapa tidak, poin-poin jabatan presiden 2 periode tertuang dalam UUD 1945 Pasal 6A. Artinya, jika skenario Presiden dapat menjabat 3 periode mesti merubah UUD 1945 dan maknanya akan terjadi amandemen UUD untuk yang kelima kalinya. 

Dr. Aulia mempertanyakan mungkinkah presiden dapat menjabat 3 periode? Terkait itu beliau mengatakan, ya mungkin-mungkin saja. Tetapi, tentu hal itu tidak terjadi begitu saja, harus ada payung hukumnya. Jika hal itu ingin di muluskan maka mesti melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Apa sisi positif dan negatif Presiden menjabat 3 periode? Menurut Dr. Aulia, jika presiden menjabat jadi 3 periode tentu ada dampaknya, baik dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya ialah, berkurangnya biaya politik karena sebagaimana diketahui tidak sedikit dana yang dibutuhkan untuk pesta demokrasi (Pemilu), terlebih pemilihan Presiden. Kedua, apa yang telah diagendakan dan dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat ia tuntaskan di masa periode ketiga kalinya ia menjabat. Ketiga, tidak terjadi perpecahan dan bentrok antar umat beragama, ras dan golongan. Karena dalam pemilihan umum acapkali isu agama dan golongan dipakai dalam meraih kekuasan.

Sementara sisi negatifnya, kata Dr. Aulia, pertama, terjadinya sentralisasi kekuasaan hanya untuk segelintir orang. 

Kedua, berpotensi berubahnya sistem pemilihan Umum. Selain masa jabatan presiden yang di gadang-gadang akan di rubah juga segelintir orang ingin merubah sistem pemilihannya. Bukan lagi dipilih langsung oleh masyarakat tetapi diwakilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dulunya pernah terjadi sebelum amandemen yakni di zaman Orde Baru.

 Ketiga, jika mekanisme pemilihan presiden berubah, artinya pertanggung jawaban presiden bukan lagi kepada masyarakat melainkan kepada DPR, dan ketatanegaraan kitapun berubah ke arah Parlementer.

Sementara Ketua PWI Sumut H. Hermansjah, SE berkomentar, memang sulit saat ini bagi media tak berpihak dan berdiri di tengah. Sebab, banyak para politisi kita juga sebagai pemilik beberapa media besar di Indonesia. Sehingga acapkali pergerakan mediapun terbatasi oleh pimpinan yang ingin mengarahkan isu yang dikonsumsi masyarakat.

Contoh, jika pemilik media tersebut masuk koalisi pemerintah maka ia akan selalu menampilkan keberhasilan-keberhasilan pemerintah dalam menjalankan kekuasaannnya, begitu pula sebaliknya. 

Namun Hermansjah mengimbau kepada peserta seminar yang hadir untuk bersatu dalam memberikan pendidikan lebih kepada masyarakat agar dapat menilai mana yang benar dan mana yang kebenarannya disamarkan.  (RED)

Share:
Komentar

Berita Terkini